Jumat, 13 Januari 2012

Dana BOS

YOGYAKARTA, KOMPAS.com - Dinas Pendidikan Kota Yogyakarta meminta sekolah, khususnya sekolah swasta, untuk mengurangi biaya pendidikan yang harus dibayar siswa karena dana bantuan operasional sekolah (BOS) yang diberikan mengalami peningkatan. Hal itu dikatakan Sekretaris Dinas Pendidikan Kota Yogyakarta Budi Ashrori di Yogyakarta, Kamis (12/1/2012).

"Ada kenaikan cukup signifikan dalam dana bantuan operasional sekolah (BOS) yang diterima, karenanya kami mohon  sekolah swasta  bisa mengurangi biaya pendidikan," kata Budi.

Dana BOS untuk sekolah dasar (SD) pada tahun 2012 mengalami peningkatan sebesar Rp 180 ribu per siswa per tahun dibanding tahun. Sebelumnya, dana BOS per siswa per tahun Rp 400 ribu, kini Rp 580 ribu.

Sementara itu, dana BOS untuk sekolah menengah swasta juga mengalami kenaikan dari Rp 575 ribu per siswa per tahun menjadi Rp 710 ribu per siswa per tahun atau mengalami kenaikan Rp135 ribu per siswa per tahun. Dana BOS tersebut diperuntukkan bagi 46.097 siswa SD dengan total dana Rp 26,7 miliar dan untuk SMP sebanyak Rp 15,326 miliar untuk 21.558 siswa.

"Kami meminta hanya kepada sekolah swasta karena di sekolah negeri sudah ada peraturan yang mengatur secara jelas bahwa siswa bebas biaya operasional sejak 2009," jelas Budi.

Dana BOS untuk SD dan SMP tersebut akan disalurkan secara langsung dari Pemerintah Provinsi DIY ke rekening yang dimiliki oleh masing-masing sekolah. Selain memperoleh dana BOS dari pemerintah pusat, Pemerintah Kota Yogyakarta juga tetap memberikan dana BOS Daerah dengan besaran yang tidak berubah dibanding tahun lalu.

Bagi SD Negeri, diberikan sebesar Rp 150 ribu per siswa per tahun, sedangkan untuk SMP Rp 475 ribu per siswa per tahun. Adapun, untuk sekolah swasta diberikan sebesar Rp 100 ribu per siswa per tahun (SD) dan Rp 200 ribu per siswa per tahun untuk SMP.
   
Kepala Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga Provinsi DIY Baskara Aji mengatakan, dana BOS sudah mulai disalurkan sejak pekan pertama Januari 2012. Total dana BOS yang diterima DIY adalah Rp 277,281 miliar yang diberikan kepada 302.029 siswa SD dan 124.716 siswa SMP.

Kampus Q





Alam





ilmu

RUU Pendidikan Kedokteran Momentum Perbaiki Pelayanan Kesehatan

JAKARTA ( Berita)   RUU Tentang Pendidikan Kedokteran menjadi salah satu momentum dalam memberikan pelayanan bagi masyarakat. Saat ini RUU tersebut telah menjadi salah satu agenda prolegnas DPR RI tahun 2011. Kalangan DPR berjanji akan menuntaskan RUU ini pada Masa Persidangan IV Tahun Sidang 2011-2012. Selain itu mutu kualitas Sumber Daya Manusia (SDM), pelayanan, maupun pemenuhan dokter di daerah terpencil menjadi kata kunci perbaikan mutu pelayanan kesehatan bagi seluruh rakyat Indonesia kedepannya.
“Penyusunan Undang-Undang tentang Pendidikan Kedokteran ini perlu mendapat perhatian, mengingat pendidikan kedokteran sangat penting bagi pemenuhan kebutuhan layanan kesehatan yang berkualitas,” ujar Anggota Komisi X DPR Hetifah Sjaifudian dari Fraksi Partai Golkar saat ditemui tim Parle, di Gedung Nusantara I, Rabu (11/1).
Di sisi lain, lanjutnya, ada banyak hal yang bisa dibenahi melalui Undang-Undang tentang Pendidikan Kedokteran. Salah satunya mengenai pendidikan kedokteran sebagai media pembentukan dokter yang berkarakter. Misalnya, selama ini masih banyak ditemui dokter yang kurang terampil dalam berkomunikasi secara empatik terhadap pasien maupun dokter yang kurang memiliki kerjasama (teamwork) yang baik dengan tenaga medis lainnya, kata Hetifah.
Menurutnya, kekurangan itu dapat diperbaiki dengan pembenahan sistem pendidikan kedokteran yang lebih baik. “Munculnya RUU inisiatif ini didorong oleh adanya fenomena mencemaskan masyarakat terkait dengan mahalnya pendidikan kedokteran. Hal itu menyebabkan terbatasnya akses masyarakat miskin yang mempunyai kemampuan akademik untuk menjadi dokter,” ujarnya.
Hetifah membenarkan, memang banyak masalahnya, mulai dari sedikitnya dokter, apalagi dokter spesialis di daerah atau pedalaman khususnya daerah yang tidak memiliki fakultas kedokteran, kurangnya rumah sakit pendidikan, serta rendahnya mutu lulusan yang dihasilkan sebagian perguruan tinggi terutama swasta hingga belum adanya pengaturan tentang pendidikan kedokteran spesialis.
“Jadi pendidikan kedokteran akan diatur dalam sebuah perundang-undangan, saat ini Komisi X DPR tengah menyusun undang-undang tersebut dan telah melakukan proses konsultasi dengan berbagai stakeholders terkait dengan undang-undang dimaksud,” jelasnya.
Dia menambahkan, ada beberapa issue kritis yang akan diatur dalam undang-undang tersebut. Beberapa diantaranya, adalah kebijakan pendidikan kedokteran dan dokter spesialis, rumah sakit pendidikan, proses seleksi mahasiswa yang diharapkan bisa lebih berhati-hati dan dilengkapi tes psikometri, kuota bagi siswa daerah yang membutuhkan, serta pentingnya menempatkan kesetaraan gender dan kesempatan bagi mereka yang berpendapatan rendah.
Selanjutnya, undang-undang ini juga akan mengatur soal pendanaan APBN maupun APBD untuk fakultas kedokteran, baik di perguruan tinggi negeri (PTN) maupun perguruan tinggi swasta (PTS). Begitu juga dengan hal-hal terkait kurikulum, dosen, dan pendidikan klinis, penghitungan unit cost untuk menetapkan subsidi, beasiswa dan SPP akan diatur pula dalam undang-undang tersebut, ujar Hetifah.
Terkait dengan liberalisasi dan mahalnya biaya pendidikan kedokteran, Hetifah mengatakan, tiap perguruan tinggi dapat membuka fakultas kedokteran selama yang bersangkutan peminatnya banyak. Dia melanjutkan, peminat umumnya berasal dari kelompok masyarakat menengah ke atas.
Di Indonesia, jelasnya, saat ini untuk menjadi dokter memang diperlukan biaya yang tidak sedikit. Sekitar Rp 200 – Rp400 juta untuk biaya masuk dan kira-kira Rp 70 juta-an/semester. Perhatian pemerintah yang belum maksimal, kata Hetifah, praktis membuat biaya pendidikan untuk menjadi seorang dokter tetap selangit. “Hal ini jelas membatasi peluang masyarakat golongan menengah ke bawah atau miskin untuk menyekolahkan anaknya menjadi dokter,” tegasnya.
Biaya mahal ternyata tidak menjamin kualitas dokter di Indonesia memenuhi standar tinggi. Karena dengan biaya semahal itu, jelas Hetifah, standar pendidikan kedokteran di Indonesia masih tetap di bawah standar internasional. “Dokter kita belum bisa langsung berpraktek di Rumah Sakit Internasional, karena tidak memenuhi standar kualitas yang ditetapkan,” tuturnya.
Atas dasar pemikiran itulah, Hetifah Sjaifudian berpandangan bahwa negara sudah semertinya mengambil alih untuk menjamin kualitas dokter di Indonesia. “Bahkan, negara harus dapat mengatur pendidikan kedokteran ini gratis, supaya semua lapisan masyarakat memiliki kesempatan yang sama,” paparnya.
Kedepan, lanjut Hetifah, pendidikan kedokteran akan bersifat kedinasan. Ini untuk menjamin keterpenuhan daerah akan tenaga kesehatan, terutama dokter. “Selama ini dokter-dokter kita sering keberatan jika bertugas di daerah. Dengan pendidikan ikatan dinas, dokter-dokter itu di tuntut untuk mengabdi dimanapun ditugaskan sesuai dengan kebutuhan,” tegasnya.
Dia menambahkan, untuk menjamin lulusan yang pendidikan kedokteran yang berkualitas dan memiliki dedikasi tersebut, calon mahasiswa kedokteran akan diseleksi secara khusus. “Dan dalam prosesnya tidak boleh ada diskriminasi dalam bentuk apapun,” himbuhnya.
Hetifah Sjaifudian berharap, dengan Undang-Undang Pendidikan Kedokteran ini anak-anak miskin juga bisa menjadi dokter, dan mereka yang berada di daerah terpencil, perbatasan atau pedalaman bisa dilayani dokter yang bermutu. “Intinya dalam RUU tentang Pendidikan Kedokteran ini ada suatu payung hukum yang bisa mengatur bagaimana supaya pendidikan kedokteran ini bisa lebih terbuka dan bisa di akses oleh siapa pun. Dan kita ingin siswa-siswa yang dihasilkan adalah siswa-siswa yang berkualitas agar dapat bersaing dengan kualitas dari dokter-dokter asing yang berpraktek di rumah sakit internasional yang ada di Indonesia,” imbuhnya. (parle/red).

ilmu

RUU Pendidikan Kedokteran Momentum Perbaiki Pelayanan Kesehatan

JAKARTA ( Berita)   RUU Tentang Pendidikan Kedokteran menjadi salah satu momentum dalam memberikan pelayanan bagi masyarakat. Saat ini RUU tersebut telah menjadi salah satu agenda prolegnas DPR RI tahun 2011. Kalangan DPR berjanji akan menuntaskan RUU ini pada Masa Persidangan IV Tahun Sidang 2011-2012. Selain itu mutu kualitas Sumber Daya Manusia (SDM), pelayanan, maupun pemenuhan dokter di daerah terpencil menjadi kata kunci perbaikan mutu pelayanan kesehatan bagi seluruh rakyat Indonesia kedepannya.
“Penyusunan Undang-Undang tentang Pendidikan Kedokteran ini perlu mendapat perhatian, mengingat pendidikan kedokteran sangat penting bagi pemenuhan kebutuhan layanan kesehatan yang berkualitas,” ujar Anggota Komisi X DPR Hetifah Sjaifudian dari Fraksi Partai Golkar saat ditemui tim Parle, di Gedung Nusantara I, Rabu (11/1).
Di sisi lain, lanjutnya, ada banyak hal yang bisa dibenahi melalui Undang-Undang tentang Pendidikan Kedokteran. Salah satunya mengenai pendidikan kedokteran sebagai media pembentukan dokter yang berkarakter. Misalnya, selama ini masih banyak ditemui dokter yang kurang terampil dalam berkomunikasi secara empatik terhadap pasien maupun dokter yang kurang memiliki kerjasama (teamwork) yang baik dengan tenaga medis lainnya, kata Hetifah.
Menurutnya, kekurangan itu dapat diperbaiki dengan pembenahan sistem pendidikan kedokteran yang lebih baik. “Munculnya RUU inisiatif ini didorong oleh adanya fenomena mencemaskan masyarakat terkait dengan mahalnya pendidikan kedokteran. Hal itu menyebabkan terbatasnya akses masyarakat miskin yang mempunyai kemampuan akademik untuk menjadi dokter,” ujarnya.
Hetifah membenarkan, memang banyak masalahnya, mulai dari sedikitnya dokter, apalagi dokter spesialis di daerah atau pedalaman khususnya daerah yang tidak memiliki fakultas kedokteran, kurangnya rumah sakit pendidikan, serta rendahnya mutu lulusan yang dihasilkan sebagian perguruan tinggi terutama swasta hingga belum adanya pengaturan tentang pendidikan kedokteran spesialis.
“Jadi pendidikan kedokteran akan diatur dalam sebuah perundang-undangan, saat ini Komisi X DPR tengah menyusun undang-undang tersebut dan telah melakukan proses konsultasi dengan berbagai stakeholders terkait dengan undang-undang dimaksud,” jelasnya.
Dia menambahkan, ada beberapa issue kritis yang akan diatur dalam undang-undang tersebut. Beberapa diantaranya, adalah kebijakan pendidikan kedokteran dan dokter spesialis, rumah sakit pendidikan, proses seleksi mahasiswa yang diharapkan bisa lebih berhati-hati dan dilengkapi tes psikometri, kuota bagi siswa daerah yang membutuhkan, serta pentingnya menempatkan kesetaraan gender dan kesempatan bagi mereka yang berpendapatan rendah.
Selanjutnya, undang-undang ini juga akan mengatur soal pendanaan APBN maupun APBD untuk fakultas kedokteran, baik di perguruan tinggi negeri (PTN) maupun perguruan tinggi swasta (PTS). Begitu juga dengan hal-hal terkait kurikulum, dosen, dan pendidikan klinis, penghitungan unit cost untuk menetapkan subsidi, beasiswa dan SPP akan diatur pula dalam undang-undang tersebut, ujar Hetifah.
Terkait dengan liberalisasi dan mahalnya biaya pendidikan kedokteran, Hetifah mengatakan, tiap perguruan tinggi dapat membuka fakultas kedokteran selama yang bersangkutan peminatnya banyak. Dia melanjutkan, peminat umumnya berasal dari kelompok masyarakat menengah ke atas.
Di Indonesia, jelasnya, saat ini untuk menjadi dokter memang diperlukan biaya yang tidak sedikit. Sekitar Rp 200 – Rp400 juta untuk biaya masuk dan kira-kira Rp 70 juta-an/semester. Perhatian pemerintah yang belum maksimal, kata Hetifah, praktis membuat biaya pendidikan untuk menjadi seorang dokter tetap selangit. “Hal ini jelas membatasi peluang masyarakat golongan menengah ke bawah atau miskin untuk menyekolahkan anaknya menjadi dokter,” tegasnya.
Biaya mahal ternyata tidak menjamin kualitas dokter di Indonesia memenuhi standar tinggi. Karena dengan biaya semahal itu, jelas Hetifah, standar pendidikan kedokteran di Indonesia masih tetap di bawah standar internasional. “Dokter kita belum bisa langsung berpraktek di Rumah Sakit Internasional, karena tidak memenuhi standar kualitas yang ditetapkan,” tuturnya.
Atas dasar pemikiran itulah, Hetifah Sjaifudian berpandangan bahwa negara sudah semertinya mengambil alih untuk menjamin kualitas dokter di Indonesia. “Bahkan, negara harus dapat mengatur pendidikan kedokteran ini gratis, supaya semua lapisan masyarakat memiliki kesempatan yang sama,” paparnya.
Kedepan, lanjut Hetifah, pendidikan kedokteran akan bersifat kedinasan. Ini untuk menjamin keterpenuhan daerah akan tenaga kesehatan, terutama dokter. “Selama ini dokter-dokter kita sering keberatan jika bertugas di daerah. Dengan pendidikan ikatan dinas, dokter-dokter itu di tuntut untuk mengabdi dimanapun ditugaskan sesuai dengan kebutuhan,” tegasnya.
Dia menambahkan, untuk menjamin lulusan yang pendidikan kedokteran yang berkualitas dan memiliki dedikasi tersebut, calon mahasiswa kedokteran akan diseleksi secara khusus. “Dan dalam prosesnya tidak boleh ada diskriminasi dalam bentuk apapun,” himbuhnya.
Hetifah Sjaifudian berharap, dengan Undang-Undang Pendidikan Kedokteran ini anak-anak miskin juga bisa menjadi dokter, dan mereka yang berada di daerah terpencil, perbatasan atau pedalaman bisa dilayani dokter yang bermutu. “Intinya dalam RUU tentang Pendidikan Kedokteran ini ada suatu payung hukum yang bisa mengatur bagaimana supaya pendidikan kedokteran ini bisa lebih terbuka dan bisa di akses oleh siapa pun. Dan kita ingin siswa-siswa yang dihasilkan adalah siswa-siswa yang berkualitas agar dapat bersaing dengan kualitas dari dokter-dokter asing yang berpraktek di rumah sakit internasional yang ada di Indonesia,” imbuhnya. (parle/red).

????????

There are days when something signicantly great or downright soul depressing happened and you are excited/fumed enough to tell yourself, I am gonna write about this, be it publicly or privately by any means, for various purposes but mainly to remind yourself that little fraction of that phase of your life. Comical enough to make you laugh like a child, sad enough to maybe make you more appreciative of the quotidian life you are living, or eventful enough to make your life change 180 and make you look at things from (a) completely different angle(s) , all these occurences seem worthy enough for me to pen down.

????????

There are days when something signicantly great or downright soul depressing happened and you are excited/fumed enough to tell yourself, I am gonna write about this, be it publicly or privately by any means, for various purposes but mainly to remind yourself that little fraction of that phase of your life. Comical enough to make you laugh like a child, sad enough to maybe make you more appreciative of the quotidian life you are living, or eventful enough to make your life change 180 and make you look at things from (a) completely different angle(s) , all these occurences seem worthy enough for me to pen down.